Halaman

Senin, 25 Februari 2013

KETULUSAN DARI HATI

Jika ada yang tidak perduli dengan kebahagian dirinya, seberapa besarnya kerelaan dirinya untuk melakukan sebuah pengorbanan demi kebahagiaan orang lain tanpa sedikitpun menginginkan sesuatu terkecuali senyum sebagai tanda bahagia orang yang dituju maka, orang tersebutlah yang patut disebut sebagai pemilik ketulusan. Memberi tanpa pamrih, menyayangi tanpa syarat, begitupun saat mencintai karena ia mencinta untuk memberi. Melakukan segalanya tanpa ada keinginan mendapatkan sesuatu imbalan. Semua dilakukan karena memang yang bersangkutan ingin berperbuat sebagaimana yang ia lakukan. Semuanya berasal dari lubuk hatinya yang paling dalam. Semuanya begitu saja dilakukan tanpa berfikir apakah membawa keuntungan atau tidak bagi dirinya saat itu juga atau dikemudian hari. Yang jelas, memang itulah yang ingin dilakukan/diberikannya begitu saja.
Jika ketulusan adalah seperti yang dipahami di atas, maka adakah ketulusan dalam cinta anak manusia?
Ada, namun sejauh yang saya fikirkan dari hasil melihat, hanya ada setitik ketulusan dalam luasnya lautan cinta. Hanya ada satu diantara 1000 cinta anak manusia yang benar-benar tulus. Tulus dalam arti tanpa ada sebuah pengharapan akan sebuah atau lebih “keuntungan”. Tanpa ada alasan dan atau konpensasi yang diharapkan dari hasil menyukai atau mencintai seseorang. Yang jelas, Ia mencinta karena mamang ingin mencintai tanpa mempertimbangkan atau berhitung sedari awal. Karena memang cintanya adalah hanya untuk memberi. Memberi dan terus memberi. Hanya itu yang ingin dilakukannya.
Lalu, tanpa sebuah pertimbangan apakah sama halnya cinta yang dimilikinya itu buta? Hmmm entahlah.
Di paragraf ini saya ingin menuliskan hal sebagai berikut, umumnya, seseorang atau bahkan banyak orang bisa suka dan atau lalu (mengaku) mencintai dengan memulai dari sesuatu yang menarik pada objek yang dicinta. Berdasarkan ketertarikannya itulah ia menyebut dirinya mencintai seseotang. Lalu, hal-hal apa sajakah yang yang menarik dari objek yang diakui dicintainya?. Ya tentu berbeda-beda, sesuai dengan karakter, orientasi, kebutuhan dan atau hal yang menurutnya perlu untuk dimiliki dan atau segala rupa yang mendukung untuk dirinya bisa menjadi yang lebih dari hari ini. Diantaranya, kepintaran:kecerdasan, kebaikaan, kepribadian yang mempesona:sederhana dan bersahaja, atau sangat bijaksana. Bisa juga karana rasa nyaman jika ia berada didekat yang disuka, ada juga yang suka karena materi yg dimiliki atau bisa juga karana sangat terobsesi dengan ketampanan, kecantikan atau kemolekan objek yang dituju. Sungguh beragam ya, rupa-rupa hal yang menjadi dasar seseorang mencintai orang lain.
Dan jika menyukai orang lain berdasarkan salah satu dari berbagai macam hal tersebut maka saya menyebutnya cinta tersebut tidaklah tulus. Karena yang bersangkutan telah mempunyai keinginan terhadap hal-hal tersebut yang diharapkannya untuk bisa menjadi bagian diri yang bisa dan tengah dihadirkan seseorang dihadapan. Sekali lagi, tulus itu memberi tanpa berharap memiliki. Memberi untuk membahagiakan, bukan mendapatkan kesenenagannya sebagai tujuan dari memberinya.
Memang ada cintayang benar-benar tulus? Ada, ketulusan paling sering kita dapatkan dari laku cinta atau sayang ibu: orang tua kepada anak-anaknya. Sering kita lihat betapa beliau-beliau berjibaku demi senyum atau kebahagiaan anaknya. Rela menjadi pengepul barang bekas, penambang batu, rela menjadi kuli gendong ala simbok Pasar Beringharjo Yogyakarta. Rela menjadi apapun meski hal itu dilihat sebelah mata oleh orang lain. Pun rela makan nasi berlauk bawang merah demi pendidikan anaknya seperti yang pernah ditayangkan disalah satu episode Kick Andy. Semua dilakukan demi kebahagiaan orang lain:anaknya. Yang ada adalah memberi, memberi dan memberi.
Ketulusan yang lain bisa kita lihat tatkala seseorang memberikan pertolongan atau sesuatu kepada orang lain yang tidak dikenali (tidak kenal) sebelumnya. Tidak ada hubungan emosional antara keduannya. Semua perbuatan baik yang dilakukan kepada orang lain hanya semata-mata ingin memberi seketika itu juga. Tanpa ada niatan tersembunyi ingin diberikan hal yang sama dari orang yang ditolongnya. Jika demikian ketulusan itu dekat dengan ketidak-kenalan kita terhadap orang lain yang hendak ditolong.
Seharusnya ketulusan itu lebih bisa dilakukan, karena tulus itu ringan tanpa beban. Betapa indahnya cinta jika yang ada hanyalah niat untuk memberi dan membahagiakan, karena ia mencintai tanpa syarat dan tanpa beban. Saya mengucap salut kepada yang memilikinya, senyum dariku dan peluk hangat untuk Tuhan pemberi ketulusan dan kelapangan hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar